Minggu, 09 November 2014

Kisah Sukses Seorang Pengusaha



            Puspo Wardoyo, (lahir di Solo, 30 November 1967 umur 46 tahun) adalah pengusaha pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wongsolo dari kota Solo. Puspo Wardoyo memiliki 7 saudara dan terlahir dari keluarga dengan ekonomi sederhana. Orang tuanya berdagang daging ayam dan membuka warung kecil. Puspo kecil membantu menyembelih ayam untuk dijual di pasar. Siang sampai malam, ia membantu orangtuanya menjajakan menu siap saji seperti ayam goreng, ayam bakar, dan menu ayam lainnya di warung milik orangtuanya di dekat kampus UNS Solo. Puspo Wardoyo sempat menjadi PNS yaitu guru seni di SMA Negeri 1 Muntilan. Namun Puspo Wardoyo memilih mengundurkan diri karena ingin menjadi pengusaha.

Perjalanan bisnis
            Rumah makan Ayam Bakar Wong Solo di Surakarta. Puspo Wardoyo mulai berprofesi sebagai penjaja makanan dan dicibir oleh temannya. Suatu waktu, temannya yang berjualan bakso di Medan pulang ke Solo, sang sahabat menyarankan agar ia pindah berjualan ke Medan. Prospek bisnis rumah makan di kota itu sangat baik, peluang usaha warung makan di Medan sangat bagus. Dalam sehari sahabatnya bisa meraup keuntungan bersih di akhir tahun 1990 itu sekitar Rp 300.000. Dari keuntungan berjualan bakso dengan gerobak sorong itulah teman Puspo ini bisa pulang menengok kampung halamannya di Solo setiap bulan. "Dengan uang, jarak antara Solo- Medan lebih dekat dibanding Solo- Semarang," kata Puspoyo menirukan ucapan temannya. Wajar saja jika dengan pesawat terbang waktu tempuh antara Medan- Solo berganti pesawat di Jakarta hanya membutuhkan waktu 1 jam. Sementara itu naik bus maka jarak antara Solo- Semarang ditempuh sekitar empat jam.Cerita sukses itu begitu membenak di hatinya. Seorang penjual bakso yang bisa pulang kampung tiap bulan. Ditambah si penjual bakso ini menggunakan pesawat terbang sebagai alat transportasi. "Saya bertekad bulat akan merantau ke Medan," pikirnya. Ia tertarik dengan ajakan kawannya itu. Untuk mendapatkan modal ia kembali menjadi guru, kali ini SMU di daerah Bagan Siapi-api, Riau. Warung makan miliknya ia tinggalkan. Puspo mempercayakan pengelolaan warungnya pada seorang kerabat. Selama 2 tahun mengajar, 1989-1991, terkumpul uang sekitar Rp 2.400.000. Dengan uang itu ia membeli motor dan sewa rumah kontrakan. Sisanya sekitar Rp 700.000 dipergunakan untuk modal jualan ayam bakar. Puspo lantas membuka warung kaki lima di daerah Medan Polonia, Medan.
            Usahanya tidak sia-sia. Pelan tapi pasti usahanya berkembang. Pegawainya pun bertambah. Suatu saat pegawainya tertimpa masalah. Ia terlibat utang dengan rentenir. Puspo membantunya dengan cara meminjamkan uang. Sebagai ucapan terimakasih, sang pegawai membawa wartawan sebuah harian lokal Medan. Si wartawan yang merupakan sahabat suami pegawai yang ditolong Puspo kemudian menuliskan profilnya. Judul artikel itu Sarjana Buka Ayam Bakar Wong Solo. Artikel itu membawa rezeki bagi Puspo. Esok hari setelah artikel dimuat, banyak orang berbondong-bondong mendatangi warungnya. Kemampuan meracik dan meramu masakan didapatnya sewaktu bekerja membantu ayahnya berdagang. Kemampuannya ini terus diasahnya sampai sekarang. Kendati masih tergolong usaha menengah, namun bisa dibilang kinerja wong Solo sangat solid dan tak punya beban utang. Ia memiliki pondasi kuat untuk terus berkembang.
            Untuk mewujudkan mimpinya, ayah sembilan anak dari empat orang istri ini telah melewati rute perjalanan yang berliku lengkap dengan segala tantangannya. Ada masa ketika diawal merintis usaha ketika masih Medan; ia nyaris patah semangat garagara selama berhari-hari tak pernah untung. Hanya berjualan dua atau tiga ekor ayam bakar dan nasi, terkadang dalam satu hari tak seekor pun yang laku terjual. Pernah pula seluruh dagangannya yang telah dimasak di rumah tumpah di tengah jalan karena jalanan licin sehabis hujan. Pada awal perantauannya ke Medan, Puspo wardoyo, sama sekali tak menyangka jika usaha warung ayam bakar Wong Solo bisa berkembang sangat pesat. Maklum, rumah makan yang dibukanya saat itu hanyalah sebuah warung berukuran sekitar 3×4 meter di dekat bandara Polonia, Medan. Setahun pertama dia hanya mampu menjual 3 ekor ayam per hari yang dibagibagi menjadi beberapa potong. Harga jual per potongnya Rp 4.500 plus sepiring nasi. Promosi dari mulut ke mulut membuat warungnya makin terkenal dan sangat efektif. Terlebih ketika seorang wartawan daerah membuat tulisan tentang Ayam Bakar Wong Solo, makin ramai warungnya. Kisah lain, pernah suatu hari dia kewalahan memenuhi pesanan pelanggan. Di saat itu tiga ekor ayam jualannya habis, datang pembeli lain yang bersedia menunggu asalkan Puspo mau mencarikan ayam sesuai keinginan nya ke pasar. Dia segera saja memenuhi permintaan pelanggan tersebut dengan membeli tiga ekor ayam lagi. Namun datang lagi pelanggan lain yang juga bersedia menunggu ia mencari ayam ke pasar lagi. "Seharian itu, hingga larut malam saya pontang panting ke pasar untuk memenuhi permintaan konsumen yang terus berdatangan," kata Puspo mengenang. Dua tahun telah berlalu dan seorang Puspo segara memperluas warung hingga layak disebut rumah makan. Jiwa seni Wardoyo nampak tergurat pada bentuk bangunan dan penampilannya yang memang cenderung nyleneh. Dalam bentuk bangunan, misalnya, Puspo tak segan- segan mengeluarkan uang cukup besar untuk membayar seorang arsitek guna mewujudkan imajinasinya terhadap suatu bentuk bangunan. Perpaduan seni dan entrepreneurship juga tertuang dalam pendekatan terhadap konsumen. "Saya berusaha menghafal nama-nama semua pelanggan saya. Sehingga sewaktu mereka datang saya harus menyambut mereka dengan menyebut namanya," paparnya. Inilah yang disebutnya sebagai "menjadikan pelanggan sebagai saudara".
            Seiring dengan berkembangnya Wong Solo, Puspo Wardoyo akhirnya membuka kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk ikut menikmati nilai tambah Wong Solo melalui system waralaba. Untuk waralaba tersebut, dia telah membuat standarisasi rasa dan gerai (outlet). Jika seseorang membeli waralaba Wong Solo di Jakarta, dipastikan akan sama rasa dan penataan gerainya dengan Wong Solo di pusatnya, Medan atau di tempat lain. Hasilnya di Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo sekarang telah ada 50 menu. Jumlah gerai RM Ayam Bakar Wongsolo sudah lebih dari 100 outlet yang tersebar diantaranya di Medan, Banda Aceh, Padang, Solo, Denpasar, Pekanbaru, Surabaya, Semarang, Jakarta, Malang, Yogyakarta dan mulai merambah Sulawesi. Usaha yang berawal dari Ayam Bakar Wong Solo kaki lima di Jalan SMA 2 Padang Golf Polonia Medan ini juga berhasil membuka 5 outlet di Malaysia. Setelah sukses membesarkan Ayam Bakar Wong Solo, harapan Puspo Wardoyo selanjutnya, dengan sungguh- sungguh dia menyahut, " Ingin terus bekerja keras, kaya raya, dan masuk surga." Kesuksesan Bukanlah Milik Sendiri, Melainkan Hasil Dukungan Orang Lain

http://id.wikipedia.org/wiki/Puspo_Wardoyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar