Puspo
Wardoyo, (lahir di Solo,
30 November
1967 umur 46 tahun) adalah
pengusaha
pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wongsolo dari kota Solo. Puspo Wardoyo
memiliki 7 saudara dan terlahir dari keluarga dengan ekonomi sederhana. Orang
tuanya berdagang daging ayam dan membuka warung kecil. Puspo kecil membantu
menyembelih ayam untuk dijual di pasar. Siang sampai malam, ia membantu
orangtuanya menjajakan menu siap saji seperti ayam goreng,
ayam bakar, dan menu ayam lainnya di warung milik orangtuanya di dekat kampus UNS Solo. Puspo Wardoyo
sempat menjadi PNS yaitu guru seni di SMA Negeri 1 Muntilan. Namun Puspo Wardoyo
memilih mengundurkan diri karena ingin menjadi pengusaha.
Perjalanan
bisnis
Rumah
makan Ayam Bakar Wong Solo di Surakarta. Puspo Wardoyo mulai berprofesi sebagai
penjaja makanan dan dicibir oleh temannya. Suatu waktu, temannya yang berjualan
bakso di Medan
pulang ke Solo, sang sahabat menyarankan agar ia pindah berjualan ke Medan. Prospek bisnis
rumah makan di kota itu sangat baik, peluang
usaha warung makan di Medan
sangat bagus. Dalam sehari sahabatnya bisa meraup keuntungan bersih di akhir
tahun 1990 itu sekitar Rp 300.000. Dari keuntungan
berjualan bakso dengan gerobak sorong itulah teman Puspo ini bisa pulang
menengok kampung halamannya di Solo setiap bulan. "Dengan uang, jarak
antara Solo- Medan lebih dekat dibanding Solo- Semarang," kata Puspoyo
menirukan ucapan temannya. Wajar saja jika dengan pesawat terbang waktu tempuh
antara Medan- Solo berganti pesawat di Jakarta hanya membutuhkan waktu 1 jam.
Sementara itu naik bus maka jarak antara Solo- Semarang ditempuh sekitar empat
jam.Cerita sukses itu begitu membenak di hatinya. Seorang penjual bakso yang
bisa pulang kampung tiap bulan. Ditambah si penjual bakso ini menggunakan
pesawat terbang sebagai alat transportasi. "Saya bertekad bulat akan
merantau ke Medan," pikirnya. Ia tertarik dengan ajakan kawannya itu. Untuk
mendapatkan modal ia kembali menjadi guru, kali ini SMU di daerah Bagan Siapi-api, Riau. Warung makan miliknya ia tinggalkan. Puspo mempercayakan pengelolaan
warungnya pada seorang kerabat. Selama 2 tahun mengajar, 1989-1991, terkumpul
uang sekitar Rp 2.400.000. Dengan uang itu ia membeli motor dan sewa rumah
kontrakan. Sisanya sekitar Rp 700.000 dipergunakan untuk modal jualan ayam
bakar. Puspo lantas membuka warung kaki lima di daerah Medan
Polonia, Medan.
Usahanya tidak sia-sia. Pelan tapi pasti usahanya berkembang.
Pegawainya pun bertambah. Suatu saat pegawainya tertimpa masalah. Ia terlibat
utang dengan rentenir. Puspo membantunya dengan cara meminjamkan uang. Sebagai
ucapan terimakasih, sang pegawai membawa wartawan sebuah harian lokal Medan. Si wartawan yang
merupakan sahabat suami pegawai yang ditolong Puspo kemudian menuliskan
profilnya. Judul artikel itu Sarjana Buka Ayam Bakar Wong Solo. Artikel itu
membawa rezeki bagi Puspo. Esok hari setelah artikel dimuat, banyak orang
berbondong-bondong mendatangi warungnya. Kemampuan meracik dan meramu masakan
didapatnya sewaktu bekerja membantu ayahnya berdagang. Kemampuannya ini terus
diasahnya sampai sekarang. Kendati masih tergolong usaha menengah, namun bisa
dibilang kinerja wong Solo sangat solid dan tak punya beban utang. Ia memiliki
pondasi kuat untuk terus berkembang.
Untuk
mewujudkan mimpinya, ayah sembilan anak dari empat orang istri ini telah
melewati rute perjalanan yang berliku lengkap dengan segala tantangannya. Ada masa ketika diawal merintis usaha ketika masih Medan; ia nyaris patah
semangat garagara selama berhari-hari tak pernah untung. Hanya berjualan dua
atau tiga ekor ayam bakar dan nasi, terkadang dalam satu hari tak seekor pun
yang laku terjual. Pernah pula seluruh dagangannya yang telah dimasak di rumah
tumpah di tengah jalan karena jalanan licin sehabis hujan. Pada awal
perantauannya ke Medan,
Puspo wardoyo, sama sekali tak menyangka jika usaha warung ayam bakar Wong Solo
bisa berkembang sangat pesat. Maklum, rumah makan yang dibukanya saat itu
hanyalah sebuah warung berukuran sekitar 3×4 meter di dekat bandara Polonia,
Medan. Setahun pertama dia hanya mampu menjual 3 ekor ayam per hari yang
dibagibagi menjadi beberapa potong. Harga jual per potongnya Rp 4.500 plus
sepiring nasi. Promosi dari mulut ke mulut membuat warungnya makin terkenal dan
sangat efektif. Terlebih ketika seorang wartawan daerah membuat tulisan tentang
Ayam Bakar Wong Solo, makin ramai warungnya. Kisah lain, pernah suatu hari dia
kewalahan memenuhi pesanan pelanggan. Di saat itu tiga ekor ayam jualannya
habis, datang pembeli lain yang bersedia menunggu asalkan Puspo mau mencarikan
ayam sesuai keinginan nya ke pasar. Dia segera saja memenuhi permintaan
pelanggan tersebut dengan membeli tiga ekor ayam lagi. Namun datang lagi
pelanggan lain yang juga bersedia menunggu ia mencari ayam ke pasar lagi.
"Seharian itu, hingga larut malam saya pontang panting ke pasar untuk
memenuhi permintaan konsumen yang terus berdatangan," kata Puspo mengenang.
Dua tahun telah berlalu dan seorang Puspo segara memperluas warung hingga layak
disebut rumah makan. Jiwa seni Wardoyo nampak tergurat pada bentuk bangunan dan
penampilannya yang memang cenderung nyleneh. Dalam bentuk bangunan, misalnya,
Puspo tak segan- segan mengeluarkan uang cukup besar untuk membayar seorang
arsitek guna mewujudkan imajinasinya terhadap suatu bentuk bangunan. Perpaduan
seni dan entrepreneurship juga tertuang dalam pendekatan terhadap konsumen.
"Saya berusaha menghafal nama-nama semua pelanggan saya. Sehingga sewaktu
mereka datang saya harus menyambut mereka dengan menyebut namanya,"
paparnya. Inilah yang disebutnya sebagai "menjadikan pelanggan sebagai
saudara".
Seiring dengan berkembangnya Wong
Solo, Puspo Wardoyo akhirnya membuka kesempatan kepada seluruh lapisan
masyarakat untuk ikut menikmati nilai tambah Wong Solo melalui system waralaba.
Untuk waralaba tersebut, dia telah membuat standarisasi rasa dan gerai
(outlet). Jika seseorang membeli waralaba Wong Solo di Jakarta, dipastikan akan
sama rasa dan penataan gerainya dengan Wong Solo di pusatnya, Medan atau di
tempat lain. Hasilnya di
Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo sekarang telah ada 50 menu. Jumlah gerai RM
Ayam Bakar Wongsolo sudah lebih dari 100 outlet yang tersebar diantaranya di Medan, Banda Aceh,
Padang,
Solo, Denpasar,
Pekanbaru,
Surabaya,
Semarang,
Jakarta,
Malang,
Yogyakarta
dan mulai merambah Sulawesi. Usaha yang berawal dari Ayam Bakar Wong Solo kaki lima di Jalan SMA 2 Padang Golf Polonia Medan ini juga
berhasil membuka 5 outlet di Malaysia. Setelah sukses membesarkan Ayam Bakar Wong Solo,
harapan Puspo Wardoyo selanjutnya, dengan sungguh- sungguh dia menyahut, "
Ingin terus bekerja keras, kaya raya, dan masuk surga." Kesuksesan
Bukanlah Milik Sendiri, Melainkan Hasil Dukungan Orang Lain
http://id.wikipedia.org/wiki/Puspo_Wardoyo