A. Pengertian
“Perikatan” ialah suatu
hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi
hak kepada yang satu untuk menuntut barang dari yang lainnya, sedangkan orang
yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut
dinamakn pihak berpiutang (kreditur), sedangkan pihak yang wajib memenuhi
tuntutan dinamakan pihak berhutang (debitur). Adapun barang sesuatu yang dapat
dituntut dinamakan “prestasi”, yang menurut undang – undang dapat berupa :
1)
Menyerahkan suatu barang
2)
Melakukan suatu perbuatan
3)
Tidak melakukan suatu perbuatan.
B. Dasar Hukum Perikatan
Sumber
perikatan berdasarkan undang-undang :
1.
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) :
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan
ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu.
2.
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) :
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata )
: Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
C. Azas – azas dalam Hukum Perikatan
Azas-azas hukum perikatan diatur dalam
Buku III KUH Perdata, yakni :
a.
Azas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa
segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan ‘sistem terbuka’, artinya bahwa dalam
membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari
perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan
perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang,
ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
b.
Azas Konsensualisme
Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada
saat tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak
yang mengikatkan diri, yaitu :
1.
Kata sepakat antara para pihak yang
mengikatkan diri
2.
Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3.
Mengenai suatu hal tertentu harus jelas
& terperinci
4.
Suatu sebab yang halal, isi perjanjian
harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan undang – undang, kesusilaan,
atau ketertiban umum.
D. Macam – macam Perikatan
Bentuk
perikatan yang paling sederhana, ialah sutu perikatan yang masing-masing pihak
hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih
pembayarannya. Di samping bentuk yang paling sederhana ini, terdapat beberapa
macam perikatan lain sebagai berikut :
a.
Perikatan Bersyarat (VOORWAARDELIJK).
Perikatan
bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di
kemudan hari, yang masih belum tentu akan atu tidak terjadi. Pertama mungkin
yang memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian
yang belum tentu itu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan
adanya suatu perikatan pada suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau
mempertangguhkan (oposchortende
voorwaarde).
b.
Perikatan yang Digantungkan Pada Suatu
Ketetapan Waktu (TIJDSBEPALING).
Perbedaan
suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu
kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan
yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum
dapat ditentukan kapan datangnya, misalny meninggalnya seseorang.
c.
Perikatan yang Membolehkan Memilih (ALTERNATIEF).
Ini
adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi,
sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan.
d.
Perikatan Tanggung – menanggung (HOOFDELIJK ATAU SOLIDAIR).
Suatu
perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang
berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya.
e.
Perikatan yang Dapat Dibagi dan yang
Tidak Dapat Dibagi
Suatu
perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi
prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah
pihak yang membuat suatu perjanjian.
f.
Perikatan dengan Penetapan Hukuman (STRAFBEDING).
Untuk
mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya,
dalam praktek banyak dipakai perjanjan dimana si berhutang dikenaka suatu
hukuman, apabila tidak menepati kewajibannya.
E. Wanprestasi dan Akibat – akibatnya
Apabila
si berhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya.
Atau juga ia “melnggar perjanjian”, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat
sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan “wanprestasi” berasal dari
bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi seorang debitur dapat
berupa empat macam :
a. Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b. Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c. Melakukan
apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d. Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Tentang bagaimana caranya memperingatkan
seorang debitur agar memenuhi teguran itu, dapat dikatakan lalai, diberikan
petunjuk oleh pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “Si
berhutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte
sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah jika
ini menetapkan bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yang ditentukan”. Yang dimaksudkan dengan surat perintah ialah suatu
peringatan resmi yaitu peringatan oleh seorang jurusita pengadilan.
Hukuman atau
akibat-akibat bagi debitur yang lalai ada empat macam, yaitu :
a. Pertama
: membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan
ganti-rugi.
Apabila seorang debitur
sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, maka jika ia
tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau alpa dan
terhadap dia dapat diperlakukan sanksi – sanksi yaitu ganti rugi, pembatalan
perjanjian, dan peralihan resiko. Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur
: biaya, rugi dan bunga.
b. Kedua
: pembatalan perjanjian atau juga dinamakan “pemecahan” perjanjian.
Pembatalan perjanjian
bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian
diadakan. Kalau sampai pihak sudah menerima sesuatu dari pihak lain, baik uang
maupun barang, maka itu harus dikembalikan.
c. Ketiga
: peralihan resiko.
Risiko adalah kewajiban
untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu
pihak, yang menjadikan barang sebagai obyek perjanjian. Menurut Pasal 1460
Kitab Undang – undang Hukum Perdata, maka resiko dalam jual – beli barang
tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan.
Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini
diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada penjual.
d. Keempat
: membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan dimuka hakim.
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara
sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai, terdapat dalam suatu
peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya
perkara (pasal 181 ayat 1 H.I.R). Seorang debitur yang lalai tentu akan
dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di muka hakim.
F.
Hapusnya
Perikatan
Pasal 1381 kitab Undang – undang Hukum
Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara – cara tersebut
:
1. Pembayaran
Dalam arti yang sangat
luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak
penjual pun dikatakan membayar jika ia menyerahkan barang yang dijualnya.
Menurut pasal 1332 Kitab Undang – undang Hukum Perdata bahwa suatu perikatan
dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan
asal saja orang pihak ketiga bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya
si berhutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak
menggantikan hak – hak si berpiutang.
Suatu masalah yang
muncul dalam soal pembayaran, adalah masalah subrogasi atau penggantian hak –
hak si berpiutang (kreditur) oleh orang ketiga yang membayar kepada si
berpiutang itu.
2. Penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan
Ini adalah suatu cara
pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak
pembayaran. Barang atau uang yang akan dibayarkan berada dalam simpanan di
kepanitraan Pengadilan Negeri atas tanggungan atau resiko si berpiutang. Si
berhutang sudah bebas dari hutangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk
menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh
si berhutang.
3. Pembaharuan
hutang atau Novasi
Apabila seorang
berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan si berhutang yang lama, maka oleh
pemeberi hutang dibebaskan dari perikatannya.
4. Perjumpaan
hutang atau Kompensasi
Ini adalah suatu cara
penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang –
piutang secara timbal balik antara kreditur dan debitur.
5. Percampuran
hutang
Apabila kedududukan
sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur)
berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang
dengan mana utang piutang tersebut dihapuskan.
6. Pembebasan
hutang
Apabila si kreditur
dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si debitur dan
melepaskan hak nya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan
yaitu hubungan hutang piutang hapus, perikatan ini hapus karena pembebasan.
Pembebasan suatu hutang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
7. Musnahnya
barang yang terhutang
Jika barang tertentu
yang menjadi objek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau
hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka
hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si
berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
8. Kebatalan/
Pembatalan
Kalau suatu perjanjian
batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan
karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatn hukum yang dilahirkan
karenanya, dan barang sesuatu yang tidk ada tentu saja tidak hapus.
9. Berlakunya
suatu syarat batal
Suatu perikatan yang
nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih
belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhakan lahirnya perikatan hingga
terjaadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi
atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
10. Lewatnya
waktu
Menurut pasal 1946
Kitab Undang – undang Hukum Perdata, yang dinamakan “lewat waktu” ialah suatu
upaya untuk memperoleh sesuatu untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan
lewatnya waktu tertentu dan atas syarat – syarat yang ditentukan oleh undang –
undang.